Minggu, 10 Juni 2012

Resensi Buku Jaringan Islam Liberal (JIL)



       A. Pendahuluan

   Judul                      : “ Islam, Sekularisme, dan  Jaringan Islam Liberal

   Penulis                   :  Drs. Maksun, M.Ag.

   Penerbit                 :  Wali songo Pers, Semarang

  Cetakan 1               :  April 2009

   Tebal                     :  116 Halaman


       B. Biodata Penulis
            Drs. Maksun, M.Ag. Penulis lahir di kebumen, 15 Mei 1968. Menyelesaikan pendidikan S-1 pada jurusan Peradilan Agama Fakulatas Syari’ah IAIN Wali Songo Semarang pada 1992. Pendidikan S-2 dalam bidang Pemikiran Hukum Islam diraihnya di IAIN yang sama pada 1999. Sejak tahun 1993 hingga sekarang, tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Syari’ah IAIN Wali Songo Semarang.
            Selain kegiatan mengajar, kini menjabat sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Syari’ah IAIN Wali Songo periode 2006-2010. Disamping itu, juga tercatat sebagai Staff Ahli Majalah Justisia Fakultas Syari’ah, Wakil Sekretaris Kelompok Ilmuwan Pemikiran Hukum dan Hukum Islam IAIN Wali Songo, anggota Redaksi Majalah Al-Ahkam Fakultas Syari’ah, Aktifis lembaga penyuluhan dan konsultasi bantuan hukum islam (LPKBHI) Fakultas Syari’ah, dan pusat kajian politik dan HAM (PUSKA POLHAM) Fakultas Syari’ah.
            Aktif menulis diberbagai surat kabar, baik lokal maupun nasional. Anatara lain pernah di muat dari :Kompas, Suara Pembarun, Media Indonesia, Jawa Pos, Suara Merdeka, media indonesia, koran tempo, Bisnis Indonesia sinar Harapan, Seputar Indonesia Wawasan, dll.

     C. Isi
Jagad pemikiran keislaman di Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir ini diwarnai dengan kemunculan suatu kelompok yang menanamkan dirinya jaringan islam liberal(JIL). Komunitas yang resmi didirikan pada tanggal 5 april 2001 ini, hinggasekarang menjadi icon yang cukup penting dalam konteks pembaharuan pemikiran islam di Indonesia. Mainstream pemikiran yang melekat pada kelompok yang awalnya dikomandani oleh Ulil Abshor Abdallah ini adalah kampanyae tentang demokratisasi pluralisme, liberalisme, sekularisme.
            Buku ini secara spesifik akan mengupas seputar bagaimana sesungguhnya konsep sekularisme dalam pandangan kelompok JIL. Dan sejauhmana posisinya dalam jejak sekularisme di indonesia. Lalu, dimana posisi JIL dalam jagad pemikiran di indonesia, dan sejauhmana implikasi pandangan sekularisme persi JIL terhadap relasi agama dan negara dalam konteks indonesia. Beberapa pertanyaan  ini cukup penting untuk  diungkap seiring dengan benderang yang ditabuh  kelompok JIL dalam menyuarakan  sekularisme hingga kini menjadi fenomena yang cukup menyulut percikan api  pertarungan wacana keagamaan.
            Apresiasi yang di sampaikan itu, tentu saja, bernada pro dan kontra. Ada kelompok yang tidak menyepakati gagasan komunitas JIL dan bersikap sangat garang dengan melabeli Orang-orang yang berada di balik layar JIL sebagai kafir dan bahkan halal darahnya. Namun, tak sedikit kelompok-kelompok atau person-person yang dalam batas-batas tertentu ”mengamini“ pemikiran yang di kembangkan JIL. Beberapa pengertian tentang pembahasan diatas yaitu tiga paham  yang menjadikan kontroversi di dalam masyarakat indonesia khususnya. Tiga paham tersebut di antaranya :
v  Pluralisme adalah  paham yang mengakui perbedaan agama dan menganggap semua agama sama.
v  Liberalisme adalah paham yang mengedepankan akal bebas dibandingkan dengan nash, yakni Al-Quran dan As-Sunnah.
v  Sekularisme adalah sebuah paham yang memisahkan agama dan negara, urusan privat dan publik.
            Secara definitif, pelacakan terhadap term sekularisme bisa dilihat dari akar kata yang membentuknya, yakni sekuler, sekularisme, sekularisasi. Ketiga kata tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu untuk melihatnya sebagai satu kerangka pemikiran yang tidak jarang memiliki makna serta pengertian yang berbeda.
1.    Sekuler
Istilah Inggris secular atau sekuler berasal dari bahasa latin saeculum yang berarti zaman sekarang ini ( this present age). Dan masa kini atau zaman kini menunjuk pada peristiwa di dunia ini, atau berupa peristiwa masa kini. Atau bisa dikatakan bahwa makna “ sekuler “ lebih ditekankan pada waktu atau periode tertentu di dunia. Hal ini di pandang akibat dari latar belakang, kultur, politik maupun sejarah.
Dalam perkembangannya, pengertian sekuler pada abad ke-19 diartikan sebagai kekuasaan bahwa Gereja tidak berhak ikut campur dalam bidang polotik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Dalam kamus kontemporer, sekuler diartikan pertama, berkenaan hal-hal duniawi, kedua, tidak diabdikan untuk kepentingan agama.
  

    2. Sekularisasi
Dari akar kata sekuler kemudian terbentuklah kata sekularisasi. Pengertian sekularisasi sering diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara ( politik). Dan urusan agama, atau pemisahan antara urusan duniawi dan ukhrawi ( akhirat). Sebagai mana yang berkembang sejak abad pertengahan, sekularisasi menunjukan arah perubahan dan penggantian hal-hal yang bersifat adi-qodrati dan teologis menjadi hal-hal yang bersifat alamiah dalam dunia ilmu pengetahuan yang menjadi serba ilmiah dan argumentatif.
Menurut Surjanto Poeporwardojo, pada hakikatnya sekularisasi menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan ilmu pengetahuan, dan menganggap ilmu pengetahuan otonom pada dirinya dengan demikian manusia mempunyai otonomi, sehingga ia dapat berbuat bebas sesuai dengan apa yang dikehendaki berdasarkan pada rasio.
Tesis yang cukup otoritatif tentang makna sekularisasi tentu karya dari Harvey. Dalam bukunya  tersebut Cox, sekularisasi menjadi semacam pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain menuju dunia kini. Sekularisasi, menurut Cox menjadi konsekuensi ontetik dari kepercayaan Bibel.
Tiga komponen penting dalam Bibel yang menjadi kerangka dasar sekularisasi. Pertama, dikaitkan dengan penciptaan( creation). Kedua, dengan migrasi besar-besaran kaum Yahudi dari Mesir. Ketiga, dengan perjanjian sinai.
Jadi menurut Cox, sekularisasi menjadi semacam pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari  dunia lain menuju dunia kini. Sekularisai, menurut Cox menjadi konsekuensi otentik dari kepercayaan Bibel.
       3. Sekularisme
Sekularisme dalam arti menunjukkan sifat keterbukaan dan kebebasan bagi aktivitas manusia untuk proses sejarah, maka sekularisme bersifat tertutup. Dalam pengertian bukan merupakan proses lagi, akan tetapi telah menjadi semacam paham atau ideologi. Sekularisme sendiri pertama diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake pada tahun 1846. Ia berpendapat bahwa:
“Sekularisme adalah suatu sistem etik  yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supernaturalisme”.
Dalam sebuah kamus yang dikutip  oleh H.Oemar Bakri ditulis “sekularisme adalah suatu pandangan bahwa pengaruh organisasi agama harus dikurangi sejauh mungkin, dan bahwa moral dan pendidikan harus dipisahkan dari agama.
Tabel dibawah ini menunjukan perbedaan antara Islam dan Sekularisme sebagai mana dipahami oleh pemikir diatas :

Sekularisme
Islam
Asli buatan manusia.
Asli buatan Tuhan.
Orientasi keduniawian.
Menekankan dunia dan akhirat.
Menekankan akal, observasi dan eksperimen.
Menekankan wahyu, akal, observasi dan pengalaman.
Mempercayai Humanisme.
Mempercayai humanisme tetapi dalam kerangka Syari’ah.
Memisahkan agama dan politik.
Menyatukan agama dan politik.
Memosisikan agama hanya dalam urusan personal.
Mengatur semua aspek kehidupan.
Di Indonesia, sekularisme dan sekularisasi tentu amat lekat dengan tokoh Nurcholish Masjid.Dialah yang mempopulerkan gagasan ini di Indonesia pada 1970-an. Cak Nur, demikian ia biasa dipanggil, sama halnya dengan Cox, melihat sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme ( ideologi ), tetapi bentuk perkembangan yang membebaskan ( liberating development ).
Proses pembebasan ini diperlukan umat Islam karena akibat perjalan agamanya, mereka tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islaminya itu, yakni mana yang transendental dan mana yang temporal. Oleh karena, sekularisasi menjadi suatu keharusan bagi umat Islam.
Dalam pandangan Cak Nur, sekularisasi memperoleh maknanya dalam deseklarisasisegal sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiyah ( transendental ), sehingga sekularisasi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengukhrowikannya.
Selain sekularisme juga ada pula pemahaman-pemahaman yang sangat berhubungan juga denga sekularisme, yang mulai muncul pada tanggal 5 April 2001 dan hingga sekarang ini masih menjadi sebuah ikon penting dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.
 Dalam waktu yang relatif singkat, gagasan pembaharuan keagamaan yang ditawarkan oleh kelompok tersebut mampu membius para mahasiswa dan sarjana muslim. Di kampus-kampus keagamaan seperti Universitas Islam Negeri, IAIN, dan STAIN, pemikiran-pemikiran yang ditawarkan oleh komunitas tersebut mendapat apresiasi yang luar biasa.
 Mereka lebih dikenal dengan nama kelompok Islam Liberal- Progressif. Digaris ini kita melihat ada kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Jaringan Islam Emansipatoris (JIE). JIL merupakan lembaga non pemerintah yang memiliki konsen utama dibidang pemikiran sosial keagamaan. Kemunculan organisasi ini di awal 2001 lebih didorong oleh kenyataan menguatnya kelompok-kelompok fundamentalisme Islam di Indonesia. Kemunculan paham fundamentalisme ini tampak semakin mengkhawatirkan ketika diikuti dengan munculny lasykar-lasykar Islam, yang dengan menggunakan atribut-atribut Islam justru memprovokasi masyarakat untuk melakukan tindak-tindak kekerasan.
JIL yang dimotori dan dikomandani oleh Ulil Absor Abdala dan sejumlah kaum muda berlatarbelakang pesantren namun berpandang liberal inipun mengibarkan tekad untuk memfokuskan kegiatan pada tiga aspek utama. Pertama, membendung munculnya fundamentalisme Islam.Kedua, mencegah munculnya kekerasan yang mengataskan namakan agama ( Islam ).Ketiga, mengembangkan demokrasi, mempromasikan pentingnya menghargai HAM, dan mengembangkan paham Islam Liberal yang toleran, pluralis dan emansipatif.
Secara internal,JIL merasa bahwa saat ini ada sejumlah kendala yang dihadapi organisasi JIL. Dua kendala utama yang ada adalah menyangkut dana dan SDM. Karena itu, jika ada tawaran bantuan peningkatan capacity building, JIL akan memprioritaskan program tersebut untuk peningkatan kemampuan dan potensi SDM dan juga untuk membenahi infrastruktur kantor dan jaringan beserta fasilitasnya.
Tentang makna Islam Liberal dan perspektif JIL dikatakan, bahwa Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:
      1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam
Islam Liberal  percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca.Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat     ( interaksi sosial ) ubudiyyat ( ritual ) dan ilahiyyat ( teologi ).
      2. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literalteks
Ijtihad yang di kembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religo-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusian universal.
      3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran ( dalam penafsiran keagamaan ) sebgai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang tekungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir disuatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
       4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas
Islam Liberal berpinjak padapenfsiran Isalam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan.
    
      5. Meyakini kebebasan beragama
Islam Liberal meyakinibahwa urusan beragama dan tidak beragam adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi.
      6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama ( teokrasi ).
Tujuan utama dari JIL adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu ,dipilihlah format atau bentuk jaringan ,bukan organsasi siapa pun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.
Dari sini,, maka akan bisa dilihat bagaimana misi dari JIL itu sendiri.Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang Liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.Kedua,mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Dengan terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga, mengupayakan terciptanya stuktur sosial danpolitik yang adil dan manusiawi.
Untuk merealisasikan misinya, ada beberapa kegiatan pokok jaringan Islam Liberal yang sudah dilakukan saat ini:
Pertama,sindikasi penulis Islam Liberal.Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal ( atau belum dikenal ) oleh publik luas sebagai pembela pluralisme dan inklusivisme.
 Kedua ,Talk—show di Kantor Berita Radio 68 H. Talk show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai”pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di Tanah Air.
Ketiga ,penerbitan buku. JIL berupaya menghadirkan buku-buku yang bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tema-tema tersebut.
Keempat,penerbitan buku saku. Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan buku saku setebal 50-100 halaman dengan bahasa yang renyah dan mudah dicerna. Buku saku ini mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat.
Kelima,website www.islamlib.com. Program ini berawal dari dibukanya milis Islam Liberal ( islamliberal@yahoogroups.com ) yang mendapat respon positif. Ada usulan dari beberapa anggota untuk meluaskan milis ini ke dalam bentuk website yang bisa di akses oleh semua kalangan.
Keenam,iklan layanan masyarakat. Untuk menyebarkan visi  Islam Liberal, JIL memproduksi sejumlah iklan layanan masyakat ( public service advertisement ) denga tema-tema plularisme, penghargaan atas perbedaan, dan pencegahan konflik sosial.
Ketujuh, dikusi keislaman.Melalui kerjasama ddengan pihak luar (universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren, dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan keagamaan secara umum. Misi serta program yang direalisasikan oleh JIL cukup nyaring bergema karena memang didukung oleh intelektual progresif yang berda di balik layar JIL.
Mereka yang berada di balik suksesnya kampanye JIL antara lain, Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda yang memiliki latar belakang dari kalangan NU. Sejak JIL didirikan hingga tahun 2004, Ulil adalah koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), sebelum ia melanjutkan studi ke Amerika Serikat.
Nah, seiring dengan perkembangan dan dinamika yang berhasil digulirkan oleh JIL, reaksi pun bermunculan. Baik yang menyokong penuh kehadirannya atau kelompok yang menyambut reaktaf kehadiran JIL sekaligus pemikiran yang dibawanya. Aktivitas JIL selain diapresiasi juga menuai reaksi kritik dan bahkan ancaman, terutama dari kelompok Islam literal–konservatif dan radikal. Bentuk reaksinya  pun bermacam-macam:dari ancaman mati, somasi, teguran, sampai keritikdalam bentuk buku.
Ancaman mati datang dari Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) pada 30 November 2002. Saat berkumpul di Masjid Al-Fajar Bandung FUUI pernah mengeluarkan pernyataan berisi fatwa yang menuntut aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan dan kegiatan yang secara sistematis dan massif melakukan penghinaan Allah ,Rasulullah, umat Islam dan para ulama.
Untuk melacak pemikiran kelompok JIL,  maka perlu diperhatikan beberapa hal. Pertama, bagaimana kerangka berpikir JIL tentang makna islam. Kedua. Memahami dam mendekati Nash Al-Quran. Kedua aspek tersebut menjadi latar belakang bagaimana JIL memehami syariat dan makna isu keagamaan. Pemahaman yang dilontarkan JIL tidak jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Charles Kurzman dalam Liberal Islam, ada enam yang menjadi perjuangan kaum liberal yakni, melawan teokrasi, mempromosikan demokrasi, memperjuangkan hak perempuan, menjaga hak non muslim, kebebasan berpikir, dan progresivitas pemikiran.
Dalam visi dan misi JIL, ada sejumlah pandangan yang ingin dikembangkan oleh kelompok ini. Salah satunya adalah memisahkan antara urusan duniawi dan ukhrawi, otoritas dan politik yang berprinsip demokrasi, liberalisme, sekularisme.
Tampaknya, gagasan sekularisme yang menjadi salah satu pemikiran JIL, jelas bukan sebuah pandangan yang benar dan orsinil. JIL serta konsep sekularisasme yang dijadikan sbuah pembaharuan pemikiran islam di Indonesia yang memiliki akar historis. Tentunya nama yang mendiang Nurcholis Madjid ( selanjutnya disebut Cak Nur) sebagai founding fathhers konsep ini.
Cak Nur, bersama Abdurrahman Wahid sebenarnya hidup dalam dua dimensi ang paradoks pada masa pemerintahan Orde Baru. Mereka mendapat dukungan dari aliran pembaruan teologis keagamaan. Konteks tersebut terkait dengan sistem politik Orde Baru yang menolak gagasan yang mengaitkan islam dan negara secara legalistik dan formalistik.
Gagasan yang dielaborasi itu menyebabkan timbulnya sejumlah kritk dari berbagai kalangan. Kritikus tersebut berpandangan bahwa gerakan pembaharuan yang diusungnya tidak saja merupakan sumber kontroversi, melainkan juga sebagai sesuatu yang dapat membahahayakan keberagamaan umat Islam di Indonesia.
Sebagai penggagas sekularisasi di Indonesia, Cak Nur menjadikan sekularisasi sebagai sebuah proses penduniawian. Dalam proses itu, terjadi pemberian yang lebih besar dari pada sebelumnya kepada kehidupan duniawi.
Jadi, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah  semestinya duniawi, melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Lebuh lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifah allah di bumi.
Begitu pun berkembang beberapa organisasi secara kontrotatif yang menjadi penentang dari  konsep liberalisme Islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Ahlussunnah Wal Jamaah. Jika disistemasir, apa yang melatarbelakangi kehadiran gerakan-gerakan keagamaan ini tentu saja adalah akumulasi dari kompleksitas masalah yang dikandungnya.
Secara garis besar, pemikiran JIL tentang sekularisme ini bermuara pada kehendak untuk memisahkan antara otoritas agama dengan negara. JIL menghendaki agar di Indonesia dapat menjadi negara yang memberikan jaminan terhadap kebebasan berkeyakinan serta beragama dan menjalankan ibadah sesuai agamanya masing-masing. Dan hal ini jelas berlawanan dengan kehendak umat Islam yang kebanyakan berpandangan sebaliknya. Tidak seperti Barat sekuler, komunitas Muslim menempatkan politik sebagai bagian praktik keagamaan atau Islam sering dipahami sebagai agama dan kekuasaan. Akibatnya, pembebasan praktik politik dari doktrin  keagamaan justru tidak dapat dilaksanakan.
Namun, sebenarnya disadari atau tidak, keputusan para founding fathers bangsa Indonesia, yang tidak menjadikan negara Indonesia didasarkan atas ajaran agama tertentu, merupakan implementasidari cara pandang pembedaan ( tamyiz ) antara wilayah agama dan negara. Dan perlu diingat, bahwa pembedaan yang diterapkan bukanlah sebuah pemisahan ( tafriq ) yang di ametral dan tegas.
Dan yang juga patut diapresiasi, bahwa penerimaan pengukuhan Pancasila sebagai asas tunggal itu pendapat penerimaan ( meski dengan beberapa perdebatan ) yang baik dari umat Islam. Hal itu yang bisa dicermati dariperilaku kalangan Nahdlatul Ulama ( NU ) dan Muhamadiyyah yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal negara.
Penerimaan umat Islam terhadap Pancasila sebagai asas kehidupan sosial dan politik tersebut dapat bermakna ganda. Pertama, sebagai revisi teologi dengan demikian bersifat tertentu sebagaiman terjadi dalam penerimaan golongan Nasionalis-Islami terhadap rumusan UUD 1945 menjelang kemerdekaan.
Alasan yang mendukung asumsi pertama, merupakan persepsi yang berkembang di kalangan trdisionalis dan berafiliasi pada kolompok NU. Mereka menerima pancasila dan bentuk Negara Indonesia sebagaimana yang ada sekarang atas dasar pertimbangan bahwa Pancasila merupakan konsensus yang dilakukan oleh mayoritas pemeluk Islam.
Sementara alasan yang kedua mendapat dukungan dari kalangan Modernis atau Muhammadiyyah. Mereka melihat bahwa politik sebagai kekuasaan dan penyelenggaraan pengolahan pemerintahan Negara merupakan alat dakwah sebagai proses pengabdian kepada Allah. Suatu pemerintahan  dipandang sah dan wajib ditaati apabila memenuhi kepentingan pementapan keyakinan (iman)dan kebutuhan warga-negara berdasarkan kaidah syari’ah.
       D.Simpulan
Setelah menguraikan pandangan JIL tentang sekularisme, maka penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, gagasan tentang sekularisme merupakan salah satu bahan kampanye yang kerap digaungkan oleh JIL. Dan ini menyangkut setidaknya beberapa asumsi dasar. Pertama, Islam tidak memberikan ancangan yang tegas tentang konsep-konsep politik.Kedua Indonesia adalah negara plural yang tidak di dasarkan atas satu keyakinan tertentu.  Sehingga model yang tepat untuk diterapkan adalah mempertahankan NKRI. Tampaknya, JIL sedang menuju pada suatu praktik. Ini didasarkan atas tiga asumsi, yakni: 1. Asumsi keagamaan yang menganandaikan bahwa sekularisme mendapatkan justifikasi dan legitimasinya dari ajaran agama serta praktik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad; 2. Asumsi filsafat politik yang meneguhkan sekularisme dengan mendapat penegasan dari wacana politik yang berkembang dalam ranah pemikiran barat; 3. Asumsi sosiologi yang merupakan semacam praktik yang berkembang dalam masyarakat yang secara tidak disadari merupakan corak berpikir ala sekularis.
Kedua, dalam jaga pemikiran Islam Indonesia, jika melihat karakteristik pemikiran JIL, maka bisa dikatakan bahwa organ ini berakar dari tradisi modernisme. Atau dengan kata lain, proyek JIL ini adalah kelanjutan dari proyek modernisme atau neo-modernisme. JIL, Islam post tradisionalis dan Islam post kuritan, meski berangkat dari basi sosiologis dan ideologis yang tidak sama, proyek pemikiran tersebut  memiliki beberapa titik persinggungan, antara lain: berusaha memehami doktrin Islam secara subsentansial dan kontekstual menafsirkan teks-teks keagamaan secara progresif, sesuai semangat zaman dan corak serta sikap keberagamaannya yang cenderung ingklusif bahkan plularis.
Ketiga, secara garis besar, pemikiran JIL tentang sekularisme ini bermuara  pada kehendak untuk memisahkam  otoritas agama dan negara. Hal ini dimulai dengan langkah memutuskan lingkaran makna dari sekularisasi dan sekularisme yang masih menyisakan perdebatan. Tentang upaya pemisahan otoritas agama dan negara, JIL menghendaki agar di Indonesia dapat menjadi negara yang memberikan jaminan terhadap kebebasan berkeyakinan serta beragama dan menjalankan ibadah agamanya masing-masing.
Cara berfikir yang  pancasialis inilah yang tampaknya tidak dipertahankan oleh JIL. Artinya, meski Indonesia tidak bisa menjadi seperti negara Barat yang sekuler habis, tetapi setidaknya  timbulmya pembedaan wewenang antara agama dan negara yang jadi satu hal yang cukup bemakna dalm secara Bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, JIL menganggap bahaya terbesar yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) datang dari para preman yang berjubah atau kelompok Islam pundenmentalis.
     


 E.Penilaian
Buku tersebut yang mengungkap tentang pemahaman-pemahaman yang muncul pada tahun 2001 ini diantaranya: JIL dan sekularisme,  memaparkan bahwa dari beberapa organisasi menganggap negara indonesia menganut negara sekuler yang otoriter kepada negara dari pada agama. Dalam buku itu tersirat pesan yang menekankan bahwa negara indonesia adalah negara sekuler, karena menganut sebuah Ideologi yang telah di buat manusia dan tidak menganut ideologi yang langsung dari Alloh.
Bukan berarti negara indonesia yang menganut Ideologi atau yang lebih disebut dengan Pancasila mengabaikan hukum-hukum dari alloh SWT. Mari kita ingat kembali dan bacakan pemahaman yang dapat diambil dari pancasila khusunya sila pertama ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pernyataan tauhid.

Rabu, 06 Juni 2012

Moral Sebagai Solusi Mencerdaskan Bangsa


Pendidikan dan Moral Sebagai Solusi Mencerdaskan Bangsa
Oleh : Adriya Mediandri
Akhir-akhir ini, kita disuguhkan dengan berbagai kasus yang mencerminkan penurunan kualitas moral rakyat Indonesia. Mulai dari maraknya kasus tawuran remaja, kasus narkoba dan minuman keras, kasus hamil di luar nikah dan praktik aborsi, kasus video porno, sampai kasus korupsi dan suap yang menjerat para pejabat Negara. Tahun 1999 hingga Maret 2000 tercatat lebih dari 200 kasus dengan 26 pelajar tewas, 56 luka berat, dan 109 luka ringan (Bimmas Polri Metro Jaya). Berdasarkan data hingga September 2005 ini kasus narkoba di Indonesia mencapai 12.256 kasus yang terdiri atas narkotika 6.179 kasus, psikotropika 5.143 kasus dan bahan adiktiv lainnya 934 kasus. Sementara untuk HIV/AIDS hingga 30 September 2005 tercatat 8.250 kasus, terdiri atas AIDS sebanyak 4.186 kasus dan infeksi HIV 4.064 kasus, sedangkan akibat jarum suntik 1.074 kasus. Kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) pada remaja menunjukkan kecenderungan meningkat antara 150.000 hingga 200.000 kasus setiap tahun. Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tang gal 4 Agustus 2010, merilis bahwa mereka mendapati 176 kasus korupsi yang ditangani aparat hukum di level pusat maupun daerah. Nilai kerugian negara dalam kasus-kasus itu ditaksir mencapai Rp2,102 triliun (Anonim, 2005). Semua ini menunjukkan bahwa kondisi moral bangsa ini terutama generasi muda sudah mulai mengalami degradasi moral sehingga perlu mendapat perhatian.
Sistem Pendidikan yang berlaku di Indonesia memilki tujuan yang mulia yakni tercermin dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, diharapkan mampu meningkatkan kualitas moral bangsa Indonesia. Sehingga dapat difahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermoral dan bermartabat.
Namun pada kenyataannya tujuan yang diharapkan dan diinginkan oleh Undang-Undang tersebut belum sepenuhnya terwujud. Hal ini ditandai dengan banyaknya manusia yang cerdas namun tidak disertai dengan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tidak berakhlak mulia, tidak jujur dan tidak bertanggungjawab, sehingga dengan kepintarannya tersebut ia gunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Kondisi bangsa Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, sehingga membawa bangsa ini semakin terpuruk dalam kemiskinan dan krisis moral yang berkepanjangan.
Kondisi pendidikan di Indonesia sekarang ini jauh dari yang diharapkan. Proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter positif. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji. Pendidikan yang tujuan awalnya mencetak manusia yang cerdas dan kreatif, ternyata masih memiliki kelemahan pada aspek perkembangan karakter bangsa yang berkualitas yang akan menghasilkan manusia yang serdas, kreatif dan bertaqwa. Hal ini terlihat dari banyaknya pelajar yang terlibat tawuran, kasus kriminal, narkoba, dan seks di luar nikah. Sehingga ketika mereka menjadi pejabat pemerintahan, tidak sedikit yang sering melakukan pelanggaran-pelanggaran, diantaranya kasus suap dan korupsi.
Hal ini menjadi bukti bahwa dalam Undang-Undang No. 2 Thn 1989 bab II pasal 4 tentang tujuan pendidikan di Indonesia belum terwujud, yang disebabkan karena pendidikan moral yang selama ini diajarkan di sekolah seperti Agama & PPKn biasanya hanya menyentuh aspek pengetahuan saja dan belum sampai pada aspek prilaku. Apalagi proses pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik banyak menitikberatkan pada segi hafalan saja sehingga tidak bisa mengubah prilaku seseorang menjadi baik. Singkatnya, penurunan kualitas moral generasi bangsa ini, disebabkan oleh kurangnya perhatian dalam usaha etika dan moral dalam pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Tidak ada pembentukan program pendidikan karakter sejak dini, sehingga karakter yang terbentuk dari sebagian pelajar Indonesia bukanlah karakter yang mencerminkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan fenomena di atas, diperlukan sebuah solusi dalam dunia pendidikan untuk menerapkan pendidikan karakter guna membentuk karakter positif para pelajar, sehingga menghasilkan manusia yang cerdas, kreatif, serta bermoral dan bermartabat dalam rangka membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada hakikatnyanya juga pendidikan adalah  cara untuk memanusiakan manusia yang merupakan P3D (Pertolongan Pertama Pada Diri) dalam menggunakan akal pikirannya yang merupakan sebuah titipan berupa potensi dari sang pemberi potensi yakni Allah Subhanahu Wata’ala. Sebuah potensi yang dihiasi dengan sebuah akhlak yang baik merupakan solusi untuk meningkatkan moral bagi kalangan yang berada di dunia pendidikan dalam rangka mendeskripsikan dan pengintegrasian kualitas bangsa di masa depan. Untuk menjadikan sebuah bangsa yang cerdas perlu juga untuk menciptakan sebuah kader-kader yang cerdas dengan cara memperkuat mental dari generasi tersebut.  Dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada kader-kader bangsa yang di upayakan ketika sejak dini. Demi Terbentuknya karakter –karakter yang baik  sejak dini juga akan membantu pertumbuhan yang baik pula , dan akan menjadi watak perilaku seseorang dalam menempuh masa yang akan datang. Maju mundurnya  bangsa di masa yang akan datang  nanti tergantung keadaan pemuda pada hari ini. Sebagaimana dalam sebuah kata motivasi “ Pemuda zaman sekarang adalah pemimpin di masa mendatang”. Tetapi jika kita renungi keadaan zaman sekarang ini satu per satu pengikisan moral yang mulai menyerang para pemuda- pemuda  pemimpin bangsa. Maraknya kasus - kasus kriminal di bangsa kita tercinta ini yang merupakan  gambaran pengikisan moral pada  generasi bangsa ini, yang Menyebabkan  penghambat Negara untuk  menjadikan sebuah agama yang cerdas. Sebagai kenyataan .
Mengingat hakkat manusia adalah makhluk yang bermoral. Moralnya manusia adalah manusianya moral. Ketika manusia melakukan penyimpangan moral adalah manusia yang sedang mereduksi nilai-nilai kemanusiaannya manusia. Akan tetapi, jika realitasnya masih banyak manusia yang melakukan penyimpangan moral, apakah merupakan kehendak dasar manusia? Tentu saja bukan dan sama sekali bukan. Itu adalah godaan pehelatan melawan syetn, sebagai simbol kejahatan. Sebab kodrat manusia itu adalah baik. Artinya moral baik dan lebih cenderung pada yang baik dan menyukai kebaikan-Nya baik. Allah telah menjamin secara tegas dalam jawaban di atas keraguan malaikat ketika Adam diciptakan, maka akan menumpahkan darah dan menyebarkan kerusakan di muka bumi, tapi Alloh menjawabnya. Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui (QS Al-Baqoroh 2:3). Dalam ayat itu, Allah menyangkal jika manusia disebut sebagai perusak, penjahat, menumpah darah, dan seterusnya.
Penyimpangan perilaku bukan karena kodrat alami, tetapi perlawanan terhadap kodrat. Kecelakaan kodrat dan pemerkosaan kodrat, akhirnya, menjadi tidak kodrati, tidak alami, dan tidak natural. Karena itu, wajar bila perbuatan yang bertentangan denga aslinya manusia dan manusia aslinya.akan berhadapan dengan dosa, ketidaknyamanan, ketentraman, dan ketidak bahagiaan hidup. Edwar Wyne (1991) mengatakan bahwa 95 % kemungkinan besar manusia mengetahui mana perbuatan yang baik dan buruk. Hanya saja masalahnya tidak memiliki keinginan yang kuat atau komitmen untuk mewujudkan yang baik dalam kenyataan baik. Tentu kita semua pernah melihat bahkan merasakan sendiri ketika kita melakukan sebuah kesalahan mencuri dan  korupsi misalnya. Bukan saja jantung yang berdebar tetapi seluruh badan kita pun merasakan debaran yang yang begitu kencang yang selanjutnya akan bereaksi menjadi negatif, mukanya merah, cara berpikir tidak terarah, perasaan goyah, mentalnya payah, semangat lemah dan tidurnya pun tidak betah. Inilah yang membuktikan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki kodray atau fitrah pada kebaikan.
Bila keadaan di atas, masih praduga atau pekiraan belaka, maka anda silahkan mengingat kembali perasaan yang pernah anda rasakan ketika melakukan kesalahan, sekecil apapun kesalahan itu. Jika ya, pasti akan meraskan hadirnya tidak aman, berada dalam ancaman, berusaha menyembunyikan, dan menghindari dari segala keadaan. Kenapa begitu? Karena takut oleh orang, padahal orang tersebut sama sekali tidak mengetahui, aneh kan? Itulah bukti bahwa perilaku bermoral merupakan kodrat alami manusia.
Hubungan antara moral dengan pendidikan sangat saling berikatan sekali, yakni sebagai solusi untuk menyelesaikan berbagai masalah yang mengakibatkan robohnya suatu bangsa, apabila seluruh rakyatnya tidak bermoral. Sebuah moto yang dipajang di kampus UPI Bnadung yang sederhana tetapi menggelitik serta mempunyai bahasa yang berselera tinggi. “Pendidikan Nilai adalah Nilai Pendidikan”  bisa dikatakan juga bahwa “Pendidikan Moral adalah Moral Pendidikan”. Moral pendidikan adalah nilai-nilai yang terkandung dalam setiap bahan ajar atau ilmu pengetahuan. Karena itu, betapa sulitnya kita akan menemukan ilmu pengetahuan yang tanpa nilai. Karena hakikatnya setiap pengetahuan syarat nilai ( embedded values, sceince is bound values), punya jiwa, punya makna, punya semangat zaman.
Karen sifat ilmu dasar ilmu adalah netral. Bukan berarti tidak berpihak atau tidak ada yang dipihaki, tetapi berpihak pada pada sesuatu yang tidak dipihaki . contoh negara-negara yang disebut dengan sebutan negara non- blok, bukan berarti punya blok, tetapi tidak ngeblok pada blok yang sudah ada,yakni blok Barat atau Timur. Akan tetapi dalam kenyataannya, negara-negara itu membuat komunitas blok sendiri yang non-blok.karena memiliki keberpihakan pada blok yang disebut dengan non-blok. Itulah yang disebut dengan netralitas pada kenetralan yang tidak netral untuk membuat kenetralan sendiri.
Menurut perspektif filsafat, A. Tafsir (1993:21) menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan disebut shahih, apabila memiliki kriteria tertentu, yakni kebenaran ontologis, ketetapan epistemologis, dan keberfungsian aksiologis. Sangat dipahami secara epistemologis bahwa ilmu pengetahuan harus dicapai melalui metodologi yang objektif. Hal ini dimaksudkan agar hasil yang diperoleh benar-benar objektif,  kebenarannya benar,sesuai dengan kebenaran itu sendiri. Pendidikan yang shahih sepenuhnya merupakan ikhtiar untuk memperoleh nilai hidup, bukan nilai angka sebagai mana lazimnya saat ini. Nilai hidup tentu bukan sekedar memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi menghasilkan makna dari setiap pengetahuan yang dipelajarinya.
Kini, secara nyata, dunia pendidikan kita telah direduksi menjadi sebuah proses bimbingan belajar yang hanya menghasilkan peserta didik mampu menjawab soal ujian mata pelajaran, bukan melatih kemampuan menjawab persoalan hidup. Pendidikan saat ini lebihbersifat ajang perlombaan mencapai angka prestasi akademik. Setiap sekolah berlomba untuk mencapai UN terbaik agar bisa disebut sebagai sekolah favorit atau bergengsi dan dapat masuk perguruan tinggi ternama. Jika hal ini berlangsung terus, tentu akan merupakan ancaman bagi keberlangsungan suatu bangsa. Kenapa? Karena kemapuan akademik yang tidak di tunjang oleh kehebatan etos kerja dan kekuatan moral, hanyalah membangun rumah mewah di atas pondasi yang tidak kokoh. Hasil penelitian Insitut Teknologi Carnegie, bahwa kesuksesan itu 15 % ditentukan oleh kemampuan keterampilan dalam bekerja, berpikir sedangkan 85 %  karena faktor- faktor kepribadian seperti, kejujuran, empati, peduli, loyal memberikan inspirasi, dan suka mendukung.(Ary Ginanjar. 2003:178). Oleh karena itu, bola seseorang cerdas secara akademik, namun rusak secara moral, maka hanyalah membangun sebuah tragedi kemanusiaan terdahsyat yang dapat mempercepat kehancuran dunia dan seluruh kehidupannya.
Kehidupam yang dihiasi moral maka akan lahir budaya yang bermoral, misalnya seorang siswa yang bermoral dipastikan lahir dari sebuah lembaga pendidikan yang bermoral yang tumbuh dari pribadi-pribadi para pendidik yang bermoral. Tak ada keraguan untuk meyakini bahwa sekolah bermoral jauh lebih baik dibandingkan sekolah yang tidak bermoral.bila belum yakin, maka silahkan pelajari sekolah-sekolah yang runtuh disekitar anda, itu dipastikan karena runtuhnya budaya moral. Budaya itu, nampak dalam ketidakjujuran dalam manajemen, guru kurang menghargai ilmu, rendahnya kecintaan belajar, budaya disiplin yang rendah, dan kebersihan yang diabaikan, serta belajar penuh dengan ketekanan. Sekolah yang memiliki moral terbaik ditandai dengan beberapa ciri unik yang terwujud dalam tampilan sekolah, manajemen, guru, dan siswanya antara lain sebagai berikut :
Ø  Budaya Nilai. Tak mungkin lahir sekolah berbudaya moral tanpa menampilkan sistem nilai tertentu yang ditaati bersama. Misalnya sistem nilai berperilaku bermoral yang tercermin dari segala tatanan budaya sekolah, mulai dari cara berpikir, memenadang permasalahan, dan menyikapi segala tindakan.
Ø  Budaya Belajar. Belajar bagi sekolah yang berbudaya moral, bukan semata-mata dilakukan untuk mencapai target prestasi belajar, tetapi untuk mengoptimalkan proses belajar prestasi. Tentu saja lebih penting untuk mencapai prestasi seperti prestasi hidup, prestasi bergaul, prestasi berkarya, prestasi kepemimpinan, prestasi sebgai ilmuwan dan seterusnya. Itulah sebuah konsekuensi yang akan dicapai  dari belajar prestasi.
Ø  Budaya Pelayanan. Tak ada yang lebih berharag dalam menjaga kelangsungan sekolah, selain menawarkan pelayanan terbaik, customer satisfaction. Pelayanan adalah jiwa sekolah dari sekolah yang berjiwa. Pelayanan adalah masa depan sekolah dan sekolah masa depan. Karena itu, sekolah yang memberikan pelayan jelek akan ditinggalkan peminatnya, sekalipun murah. Sekalipun menawarkan jasa yang tinggi, akan tetap menjadi rebutan orang yang menyadari pendidikan sebagai investasi masa depan.
Ø  Budaya Menghargai Hal Kecil. Banyak hal kecil yang tidak mendapatkan penghargaan, kemudian menjadi besar di tangan orang-orang berani ysng menghargai yang kecil dengan potensi yang besar. Sekolah yang menerapkan disiplin belajar sebagai pilihan keunikan,akan menyebabkan sekolah itu menjdai lebih besar dalam segala hal, sebab disiplin akan membawa budayapositif untuk membangun sebuah prestasi kolektif. Tak ada prestasi sebesar apa pun, selain berawal dari disiplin besar terhadap hal kecil, dan membuat hal kecil dengan konstruk berpikir besar.
Semua penjelasan tentu saja tidak sempurna, tetapi sekuarang-kurangnya memberikan inspirasi untuk memberikan gambaran bahwa hubungan pendidikan dengan moral salah satu solusi bagi kelangsungan kehidupan berbangsa demi mewujudkan bangsa yang bermoral. Mewujudkan sekolah-sekolah yang berlandaskan moral menjadi solusi menciptakan kader-kader bangsa yang yang bermoral untuk kehidupan di masa yang akan datang. Sekolah bermoral menjadi sekolah masa depan. Pendidikan moral adalah moral pendidikan.