A. Pendahuluan
Judul : “ Islam, Sekularisme, dan Jaringan Islam Liberal
Penulis :
Drs. Maksun, M.Ag.
Penerbit : Wali songo Pers, Semarang
Cetakan 1 : April 2009
Tebal :
116 Halaman
|
B. Biodata Penulis
Drs. Maksun, M.Ag.
Penulis lahir di kebumen, 15 Mei 1968. Menyelesaikan pendidikan S-1 pada
jurusan Peradilan Agama Fakulatas Syari’ah IAIN Wali Songo Semarang pada 1992.
Pendidikan S-2 dalam bidang Pemikiran Hukum Islam diraihnya di IAIN yang sama
pada 1999. Sejak tahun 1993 hingga sekarang, tercatat sebagai dosen tetap
Fakultas Syari’ah IAIN Wali Songo Semarang.
Selain kegiatan
mengajar, kini menjabat sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Syari’ah IAIN Wali
Songo periode 2006-2010. Disamping itu, juga tercatat sebagai Staff Ahli
Majalah Justisia Fakultas Syari’ah, Wakil Sekretaris Kelompok Ilmuwan Pemikiran
Hukum dan Hukum Islam IAIN Wali Songo, anggota Redaksi Majalah Al-Ahkam
Fakultas Syari’ah, Aktifis lembaga penyuluhan dan konsultasi bantuan hukum
islam (LPKBHI) Fakultas Syari’ah, dan pusat kajian politik dan HAM
(PUSKA POLHAM) Fakultas Syari’ah.
Aktif menulis
diberbagai surat kabar, baik lokal maupun nasional. Anatara lain pernah di muat
dari :Kompas, Suara Pembarun, Media Indonesia, Jawa Pos, Suara Merdeka,
media indonesia, koran tempo, Bisnis Indonesia sinar Harapan, Seputar Indonesia
Wawasan, dll.
C. Isi
Jagad pemikiran keislaman di Indonesia dalam kurun lima tahun
terakhir ini diwarnai dengan kemunculan suatu kelompok yang menanamkan dirinya
jaringan islam liberal(JIL). Komunitas yang resmi didirikan pada tanggal 5
april 2001 ini, hinggasekarang menjadi icon yang cukup penting dalam konteks pembaharuan
pemikiran islam di Indonesia. Mainstream pemikiran yang melekat pada kelompok
yang awalnya dikomandani oleh Ulil Abshor Abdallah ini adalah kampanyae tentang
demokratisasi pluralisme, liberalisme, sekularisme.
Buku ini secara
spesifik akan mengupas seputar bagaimana sesungguhnya konsep sekularisme dalam
pandangan kelompok JIL. Dan sejauhmana posisinya dalam jejak sekularisme di
indonesia. Lalu, dimana posisi JIL dalam jagad pemikiran di indonesia, dan
sejauhmana implikasi pandangan sekularisme persi JIL terhadap relasi agama dan
negara dalam konteks indonesia. Beberapa pertanyaan ini cukup penting untuk diungkap seiring dengan benderang yang
ditabuh kelompok JIL dalam
menyuarakan sekularisme hingga kini
menjadi fenomena yang cukup menyulut percikan api pertarungan wacana keagamaan.
Apresiasi yang di
sampaikan itu, tentu saja, bernada pro dan kontra. Ada kelompok yang tidak
menyepakati gagasan komunitas JIL dan bersikap sangat garang dengan melabeli
Orang-orang yang berada di balik layar JIL sebagai kafir dan bahkan halal
darahnya. Namun, tak sedikit kelompok-kelompok atau person-person yang dalam
batas-batas tertentu ”mengamini“ pemikiran yang di kembangkan JIL. Beberapa
pengertian tentang pembahasan diatas yaitu tiga paham yang menjadikan kontroversi di dalam
masyarakat indonesia khususnya. Tiga paham tersebut di antaranya :
v Pluralisme adalah paham yang
mengakui perbedaan agama dan menganggap semua agama sama.
v Liberalisme adalah paham yang mengedepankan akal bebas dibandingkan
dengan nash, yakni Al-Quran dan As-Sunnah.
v Sekularisme adalah sebuah paham yang memisahkan agama dan negara,
urusan privat dan publik.
Secara definitif,
pelacakan terhadap term sekularisme bisa dilihat dari akar kata yang
membentuknya, yakni sekuler, sekularisme, sekularisasi. Ketiga kata tersebut
perlu dijelaskan terlebih dahulu untuk melihatnya sebagai satu kerangka
pemikiran yang tidak jarang memiliki makna serta pengertian yang berbeda.
1.
Sekuler
Istilah Inggris secular atau sekuler berasal dari bahasa latin
saeculum yang berarti zaman sekarang ini ( this present age). Dan masa kini
atau zaman kini menunjuk pada peristiwa di dunia ini, atau berupa peristiwa
masa kini. Atau bisa dikatakan bahwa makna “ sekuler “ lebih ditekankan pada
waktu atau periode tertentu di dunia. Hal ini di pandang akibat dari latar
belakang, kultur, politik maupun sejarah.
Dalam perkembangannya, pengertian sekuler pada abad ke-19 diartikan
sebagai kekuasaan bahwa Gereja tidak berhak ikut campur dalam bidang polotik,
ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Dalam kamus kontemporer, sekuler diartikan pertama,
berkenaan hal-hal duniawi, kedua, tidak diabdikan untuk kepentingan
agama.
2. Sekularisasi
Dari akar kata sekuler kemudian terbentuklah kata sekularisasi.
Pengertian sekularisasi sering diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara
( politik). Dan urusan agama, atau pemisahan antara urusan duniawi dan ukhrawi
( akhirat). Sebagai mana yang berkembang sejak abad pertengahan, sekularisasi
menunjukan arah perubahan dan penggantian hal-hal yang bersifat adi-qodrati dan
teologis menjadi hal-hal yang bersifat alamiah dalam dunia ilmu pengetahuan
yang menjadi serba ilmiah dan argumentatif.
Menurut Surjanto Poeporwardojo, pada hakikatnya sekularisasi
menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan ilmu pengetahuan, dan
menganggap ilmu pengetahuan otonom pada dirinya dengan demikian manusia
mempunyai otonomi, sehingga ia dapat berbuat bebas sesuai dengan apa yang
dikehendaki berdasarkan pada rasio.
Tesis yang cukup otoritatif tentang makna sekularisasi tentu karya
dari Harvey. Dalam bukunya tersebut Cox,
sekularisasi menjadi semacam pembebasan manusia dari asuhan agama dan
metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain menuju dunia kini.
Sekularisasi, menurut Cox menjadi konsekuensi ontetik dari kepercayaan Bibel.
Tiga komponen penting dalam Bibel yang menjadi kerangka dasar
sekularisasi. Pertama, dikaitkan dengan penciptaan( creation). Kedua,
dengan migrasi besar-besaran kaum Yahudi dari Mesir. Ketiga, dengan
perjanjian sinai.
Jadi menurut Cox, sekularisasi menjadi semacam pembebasan manusia
dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain menuju dunia kini. Sekularisai,
menurut Cox menjadi konsekuensi otentik dari kepercayaan Bibel.
3. Sekularisme
Sekularisme dalam arti menunjukkan sifat keterbukaan dan kebebasan
bagi aktivitas manusia untuk proses sejarah, maka sekularisme bersifat
tertutup. Dalam pengertian bukan merupakan proses lagi, akan tetapi telah
menjadi semacam paham atau ideologi. Sekularisme sendiri pertama diperkenalkan
oleh George Jacob Holyoake pada tahun 1846. Ia berpendapat bahwa:
“Sekularisme
adalah suatu sistem etik yang didasarkan
pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supernaturalisme”.
Dalam sebuah kamus yang dikutip
oleh H.Oemar Bakri ditulis “sekularisme adalah suatu pandangan bahwa
pengaruh organisasi agama harus dikurangi sejauh mungkin, dan bahwa moral dan
pendidikan harus dipisahkan dari agama.
Tabel dibawah ini menunjukan perbedaan antara Islam dan Sekularisme
sebagai mana dipahami oleh pemikir diatas :
Sekularisme
|
Islam
|
Asli buatan manusia.
|
Asli buatan Tuhan.
|
Orientasi keduniawian.
|
Menekankan dunia dan akhirat.
|
Menekankan akal, observasi dan eksperimen.
|
Menekankan wahyu, akal, observasi dan pengalaman.
|
Mempercayai Humanisme.
|
Mempercayai humanisme tetapi dalam kerangka Syari’ah.
|
Memisahkan agama dan politik.
|
Menyatukan agama dan politik.
|
Memosisikan agama hanya dalam urusan personal.
|
Mengatur semua aspek kehidupan.
|
Di Indonesia, sekularisme dan sekularisasi tentu amat lekat dengan
tokoh Nurcholish Masjid.Dialah yang mempopulerkan gagasan ini di Indonesia pada
1970-an. Cak Nur, demikian ia biasa dipanggil, sama halnya dengan Cox, melihat
sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme ( ideologi ),
tetapi bentuk perkembangan yang membebaskan ( liberating development ).
Proses pembebasan ini diperlukan umat Islam karena akibat perjalan
agamanya, mereka tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya
Islaminya itu, yakni mana yang transendental dan mana yang temporal. Oleh
karena, sekularisasi menjadi suatu keharusan bagi umat Islam.
Dalam pandangan Cak Nur, sekularisasi memperoleh maknanya dalam
deseklarisasisegal sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiyah (
transendental ), sehingga sekularisasi dimaksudkan untuk menduniawikan
nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam
dari kecenderungan mengukhrowikannya.
Selain sekularisme juga ada pula pemahaman-pemahaman yang sangat
berhubungan juga denga sekularisme, yang mulai muncul pada tanggal 5 April 2001
dan hingga sekarang ini masih menjadi sebuah ikon penting dalam pembaharuan
pemikiran Islam di Indonesia.
Dalam waktu yang relatif
singkat, gagasan pembaharuan keagamaan yang ditawarkan oleh kelompok tersebut
mampu membius para mahasiswa dan sarjana muslim. Di kampus-kampus keagamaan
seperti Universitas Islam Negeri, IAIN, dan STAIN, pemikiran-pemikiran yang
ditawarkan oleh komunitas tersebut mendapat apresiasi yang luar biasa.
Mereka lebih dikenal dengan
nama kelompok Islam Liberal- Progressif. Digaris ini kita melihat ada kelompok
Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Jaringan Islam Emansipatoris (JIE). JIL
merupakan lembaga non pemerintah yang memiliki konsen utama dibidang pemikiran
sosial keagamaan. Kemunculan organisasi ini di awal 2001 lebih didorong oleh
kenyataan menguatnya kelompok-kelompok fundamentalisme Islam di Indonesia.
Kemunculan paham fundamentalisme ini tampak semakin mengkhawatirkan ketika
diikuti dengan munculny lasykar-lasykar Islam, yang dengan menggunakan
atribut-atribut Islam justru memprovokasi masyarakat untuk melakukan
tindak-tindak kekerasan.
JIL yang dimotori dan dikomandani oleh Ulil Absor Abdala dan
sejumlah kaum muda berlatarbelakang pesantren namun berpandang liberal inipun
mengibarkan tekad untuk memfokuskan kegiatan pada tiga aspek utama. Pertama,
membendung munculnya fundamentalisme Islam.Kedua, mencegah munculnya
kekerasan yang mengataskan namakan agama ( Islam ).Ketiga, mengembangkan
demokrasi, mempromasikan pentingnya menghargai HAM, dan mengembangkan paham
Islam Liberal yang toleran, pluralis dan emansipatif.
Secara internal,JIL merasa bahwa saat ini ada sejumlah kendala yang
dihadapi organisasi JIL. Dua kendala utama yang ada adalah menyangkut dana dan
SDM. Karena itu, jika ada tawaran bantuan peningkatan capacity building,
JIL akan memprioritaskan program tersebut untuk peningkatan kemampuan dan
potensi SDM dan juga untuk membenahi infrastruktur kantor dan jaringan beserta
fasilitasnya.
Tentang makna Islam Liberal dan perspektif JIL dikatakan, bahwa Islam
Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan
sebagai berikut:
1. Membuka pintu ijtihad
pada semua dimensi Islam
Islam Liberal percaya bahwa
ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama
yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca.Penutupan pintu
ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas
Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam
Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat ( interaksi sosial ) ubudiyyat ( ritual
) dan ilahiyyat ( teologi ).
2. Mengutamakan
semangat religio etik, bukan makna literalteks
Ijtihad yang di kembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya
menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi,
bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks.
Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang
berdasarkan semangat religo-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara
kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusian universal.
3. Mempercayai
kebenaran yang relatif, terbuka dan plural
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (
dalam penafsiran keagamaan ) sebgai sesuatu yang relatif, sebab sebuah
penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang tekungkung oleh konteks tertentu;
terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain
kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain
cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir disuatu masa dan ruang
yang terus berubah-ubah.
4. Memihak pada yang
minoritas dan tertindas
Islam Liberal berpinjak padapenfsiran Isalam yang memihak kepada
kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan.
5. Meyakini kebebasan
beragama
Islam Liberal meyakinibahwa urusan beragama dan tidak beragam
adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi.
6. Memisahkan otoritas
duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus
dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama ( teokrasi ).
Tujuan utama dari JIL adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal
seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu ,dipilihlah format atau bentuk
jaringan ,bukan organsasi siapa pun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap
gagasan Islam Liberal.
Dari sini,, maka akan bisa dilihat bagaimana misi dari JIL itu
sendiri.Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang Liberal sesuai
dengan prinsip-prinsip yang dianut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin
khalayak.Kedua,mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari
tekanan konservatisme. Dengan terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran
dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga, mengupayakan terciptanya stuktur
sosial danpolitik yang adil dan manusiawi.
Untuk merealisasikan misinya, ada beberapa kegiatan pokok jaringan
Islam Liberal yang sudah dilakukan saat ini:
Pertama,sindikasi
penulis Islam Liberal.Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis
yang selama ini dikenal ( atau belum dikenal ) oleh publik luas sebagai pembela
pluralisme dan inklusivisme.
Kedua ,Talk—show di Kantor Berita Radio 68 H. Talk show ini akan
mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai”pendekar pluralisme
dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di
Tanah Air.
Ketiga ,penerbitan
buku. JIL berupaya menghadirkan buku-buku yang bertemakan pluralisme dan
inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan
ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tema-tema tersebut.
Keempat,penerbitan buku
saku. Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan buku saku setebal 50-100
halaman dengan bahasa yang renyah dan mudah dicerna. Buku saku ini mengulas dan
menanggapi sejumlah isu yang menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat.
Kelima,website www.islamlib.com.
Program ini berawal dari dibukanya milis Islam Liberal ( islamliberal@yahoogroups.com
) yang mendapat respon positif. Ada usulan
dari beberapa anggota untuk meluaskan milis ini ke dalam bentuk website yang
bisa di akses oleh semua kalangan.
Keenam,iklan layanan
masyarakat. Untuk menyebarkan visi Islam
Liberal, JIL memproduksi sejumlah iklan layanan masyakat ( public service
advertisement ) denga tema-tema plularisme, penghargaan atas perbedaan, dan
pencegahan konflik sosial.
Ketujuh, dikusi
keislaman.Melalui kerjasama ddengan pihak luar (universitas, LSM, kelompok
mahasiswa, pesantren, dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan sejumlah
diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan keagamaan secara umum. Misi
serta program yang direalisasikan oleh JIL cukup nyaring bergema karena memang
didukung oleh intelektual progresif yang berda di balik layar JIL.
Mereka yang berada di balik suksesnya kampanye JIL antara lain,
Ulil Abshar Abdalla, seorang intelektual muda yang memiliki latar belakang dari
kalangan NU. Sejak JIL didirikan hingga tahun 2004, Ulil adalah koordinator
Jaringan Islam Liberal (JIL), sebelum ia melanjutkan studi ke Amerika Serikat.
Nah, seiring dengan perkembangan dan dinamika yang berhasil
digulirkan oleh JIL, reaksi pun bermunculan. Baik yang menyokong penuh
kehadirannya atau kelompok yang menyambut reaktaf kehadiran JIL sekaligus
pemikiran yang dibawanya. Aktivitas JIL selain diapresiasi juga menuai reaksi
kritik dan bahkan ancaman, terutama dari kelompok Islam literal–konservatif dan
radikal. Bentuk reaksinya pun
bermacam-macam:dari ancaman mati, somasi, teguran, sampai keritikdalam bentuk
buku.
Ancaman mati datang dari Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) pada 30
November 2002. Saat berkumpul di Masjid Al-Fajar Bandung FUUI pernah
mengeluarkan pernyataan berisi fatwa yang menuntut aparat penegak hukum untuk
membongkar jaringan dan kegiatan yang secara sistematis dan massif melakukan
penghinaan Allah ,Rasulullah, umat Islam dan para ulama.
Untuk melacak pemikiran kelompok JIL, maka perlu diperhatikan beberapa hal. Pertama,
bagaimana kerangka berpikir JIL tentang makna islam. Kedua. Memahami dam
mendekati Nash Al-Quran. Kedua aspek tersebut menjadi latar belakang bagaimana
JIL memehami syariat dan makna isu keagamaan. Pemahaman yang dilontarkan JIL
tidak jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Charles Kurzman dalam
Liberal Islam, ada enam yang menjadi perjuangan kaum liberal yakni, melawan
teokrasi, mempromosikan demokrasi, memperjuangkan hak perempuan, menjaga hak
non muslim, kebebasan berpikir, dan progresivitas pemikiran.
Dalam visi dan misi JIL, ada sejumlah pandangan yang ingin
dikembangkan oleh kelompok ini. Salah satunya adalah memisahkan antara urusan
duniawi dan ukhrawi, otoritas dan politik yang berprinsip demokrasi,
liberalisme, sekularisme.
Tampaknya, gagasan sekularisme yang menjadi salah satu pemikiran
JIL, jelas bukan sebuah pandangan yang benar dan orsinil. JIL serta konsep
sekularisasme yang dijadikan sbuah pembaharuan pemikiran islam di Indonesia
yang memiliki akar historis. Tentunya nama yang mendiang Nurcholis Madjid (
selanjutnya disebut Cak Nur) sebagai founding fathhers konsep ini.
Cak Nur, bersama Abdurrahman Wahid sebenarnya hidup dalam dua
dimensi ang paradoks pada masa pemerintahan Orde Baru. Mereka mendapat dukungan
dari aliran pembaruan teologis keagamaan. Konteks tersebut terkait dengan
sistem politik Orde Baru yang menolak gagasan yang mengaitkan islam dan negara
secara legalistik dan formalistik.
Gagasan yang dielaborasi itu menyebabkan timbulnya sejumlah kritk
dari berbagai kalangan. Kritikus tersebut berpandangan bahwa gerakan
pembaharuan yang diusungnya tidak saja merupakan sumber kontroversi, melainkan
juga sebagai sesuatu yang dapat membahahayakan keberagamaan umat Islam di
Indonesia.
Sebagai penggagas sekularisasi di Indonesia, Cak Nur menjadikan
sekularisasi sebagai sebuah proses penduniawian. Dalam proses itu, terjadi
pemberian yang lebih besar dari pada sebelumnya kepada kehidupan duniawi.
Jadi, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai sekularisme dan
mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk
menduniawikan nilai-nilai yang sudah
semestinya duniawi, melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhrawikannya. Lebuh lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih
memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifah allah di bumi.
Begitu pun berkembang beberapa organisasi secara kontrotatif yang
menjadi penentang dari konsep
liberalisme Islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), Laskar Ahlussunnah Wal Jamaah. Jika disistemasir, apa yang
melatarbelakangi kehadiran gerakan-gerakan keagamaan ini tentu saja adalah
akumulasi dari kompleksitas masalah yang dikandungnya.
Secara garis besar, pemikiran JIL tentang sekularisme ini bermuara
pada kehendak untuk memisahkan antara otoritas agama dengan negara. JIL
menghendaki agar di Indonesia dapat menjadi negara yang memberikan jaminan
terhadap kebebasan berkeyakinan serta beragama dan menjalankan ibadah sesuai
agamanya masing-masing. Dan hal ini jelas berlawanan dengan kehendak umat Islam
yang kebanyakan berpandangan sebaliknya. Tidak seperti Barat sekuler, komunitas
Muslim menempatkan politik sebagai bagian praktik keagamaan atau Islam sering
dipahami sebagai agama dan kekuasaan. Akibatnya, pembebasan praktik politik
dari doktrin keagamaan justru tidak
dapat dilaksanakan.
Namun, sebenarnya disadari atau tidak, keputusan para founding
fathers bangsa Indonesia, yang tidak menjadikan negara Indonesia didasarkan
atas ajaran agama tertentu, merupakan implementasidari cara pandang pembedaan (
tamyiz ) antara wilayah agama dan negara. Dan perlu diingat, bahwa
pembedaan yang diterapkan bukanlah sebuah pemisahan ( tafriq ) yang di
ametral dan tegas.
Dan yang juga patut diapresiasi, bahwa penerimaan pengukuhan
Pancasila sebagai asas tunggal itu pendapat penerimaan ( meski dengan beberapa
perdebatan ) yang baik dari umat Islam. Hal itu yang bisa dicermati
dariperilaku kalangan Nahdlatul Ulama ( NU ) dan Muhamadiyyah yang menerima
Pancasila sebagai asas tunggal negara.
Penerimaan umat Islam terhadap Pancasila sebagai asas kehidupan
sosial dan politik tersebut dapat bermakna ganda. Pertama, sebagai
revisi teologi dengan demikian bersifat tertentu sebagaiman terjadi dalam
penerimaan golongan Nasionalis-Islami terhadap rumusan UUD 1945 menjelang
kemerdekaan.
Alasan yang mendukung asumsi pertama, merupakan persepsi yang
berkembang di kalangan trdisionalis dan berafiliasi pada kolompok NU. Mereka
menerima pancasila dan bentuk Negara Indonesia sebagaimana yang ada sekarang
atas dasar pertimbangan bahwa Pancasila merupakan konsensus yang dilakukan oleh
mayoritas pemeluk Islam.
Sementara alasan yang kedua mendapat dukungan dari kalangan
Modernis atau Muhammadiyyah. Mereka melihat bahwa politik sebagai kekuasaan dan
penyelenggaraan pengolahan pemerintahan Negara merupakan alat dakwah sebagai
proses pengabdian kepada Allah. Suatu pemerintahan dipandang sah dan wajib ditaati apabila
memenuhi kepentingan pementapan keyakinan (iman)dan kebutuhan warga-negara
berdasarkan kaidah syari’ah.
D.Simpulan
Setelah menguraikan pandangan JIL tentang sekularisme, maka penulis
menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, gagasan tentang
sekularisme merupakan salah satu bahan kampanye yang kerap digaungkan oleh JIL.
Dan ini menyangkut setidaknya beberapa asumsi dasar. Pertama, Islam
tidak memberikan ancangan yang tegas tentang konsep-konsep politik.Kedua
Indonesia adalah negara plural yang tidak di dasarkan atas satu keyakinan
tertentu. Sehingga model yang tepat
untuk diterapkan adalah mempertahankan NKRI. Tampaknya, JIL sedang menuju pada
suatu praktik. Ini didasarkan atas tiga asumsi, yakni: 1. Asumsi keagamaan yang
menganandaikan bahwa sekularisme mendapatkan justifikasi dan legitimasinya dari
ajaran agama serta praktik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad; 2. Asumsi
filsafat politik yang meneguhkan sekularisme dengan mendapat penegasan dari
wacana politik yang berkembang dalam ranah pemikiran barat; 3. Asumsi sosiologi
yang merupakan semacam praktik yang berkembang dalam masyarakat yang secara
tidak disadari merupakan corak berpikir ala sekularis.
Kedua, dalam jaga
pemikiran Islam Indonesia, jika melihat karakteristik pemikiran JIL, maka bisa
dikatakan bahwa organ ini berakar dari tradisi modernisme. Atau dengan kata
lain, proyek JIL ini adalah kelanjutan dari proyek modernisme atau
neo-modernisme. JIL, Islam post tradisionalis dan Islam post kuritan, meski
berangkat dari basi sosiologis dan ideologis yang tidak sama, proyek pemikiran
tersebut memiliki beberapa titik
persinggungan, antara lain: berusaha memehami doktrin Islam secara
subsentansial dan kontekstual menafsirkan teks-teks keagamaan secara progresif,
sesuai semangat zaman dan corak serta sikap keberagamaannya yang cenderung
ingklusif bahkan plularis.
Ketiga, secara garis
besar, pemikiran JIL tentang sekularisme ini bermuara pada kehendak untuk memisahkam otoritas agama dan negara. Hal ini dimulai
dengan langkah memutuskan lingkaran makna dari sekularisasi dan sekularisme
yang masih menyisakan perdebatan. Tentang upaya pemisahan otoritas agama dan
negara, JIL menghendaki agar di Indonesia dapat menjadi negara yang memberikan
jaminan terhadap kebebasan berkeyakinan serta beragama dan menjalankan ibadah
agamanya masing-masing.
Cara berfikir yang
pancasialis inilah yang tampaknya tidak dipertahankan oleh JIL. Artinya,
meski Indonesia tidak bisa menjadi seperti negara Barat yang sekuler habis,
tetapi setidaknya timbulmya pembedaan
wewenang antara agama dan negara yang jadi satu hal yang cukup bemakna dalm
secara Bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, JIL menganggap bahaya terbesar yang
mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) datang dari
para preman yang berjubah atau kelompok Islam pundenmentalis.
E.Penilaian
Buku tersebut yang mengungkap tentang pemahaman-pemahaman yang
muncul pada tahun 2001 ini diantaranya: JIL dan sekularisme, memaparkan bahwa dari beberapa organisasi
menganggap negara indonesia menganut negara sekuler yang otoriter kepada negara
dari pada agama. Dalam buku itu tersirat pesan yang menekankan bahwa negara
indonesia adalah negara sekuler, karena menganut sebuah Ideologi yang telah di
buat manusia dan tidak menganut ideologi yang langsung dari Alloh.
Bukan berarti negara indonesia yang menganut Ideologi atau yang lebih
disebut dengan Pancasila mengabaikan hukum-hukum dari alloh SWT. Mari kita
ingat kembali dan bacakan pemahaman yang dapat diambil dari pancasila khusunya
sila pertama ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pernyataan tauhid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar